Minggu, 14 Oktober 2012

Mushaf Ali Ibn Abi Thalib


Ali adalah Ali ibn Abi Thalib, putra paman Rasulullah saw., salah satu sahabat yang lebih dahulu masuk Islam pada saat muda belia, beliau menemani Rasulullah saw. dalam banyak kejadian dan peperangan, dan juga menjadi salah satu orang yang mengumpulkan al-Qur’an pada masa Nabi saw. (baca: penulis wahyu).
            Ali ibn Abi Thalib adalah salah satu penggagas dikumpulkannya mushaf al-Qur’an (baca: mushaf al-Imam), diriwayatkan dari ibn Abi Dawud, beliau berkata: “ketika Utsman membakar semua mushaf, Ali berkomentar: jika Utsman tidak melakukannya (membakar semua mushaf), maka aku akan melakukannya”. Diantara tujuh ahli qira’ah, ada empat dari mereka yang menyandarkan qira’ahnya pada Ali ibn Abi Thalib:
1.      Abu ‘Amr ibn al-‘Ala dari Nashr ibn ‘Ashim dan Yahya ibn Ya’mar keduanya membaca kepada Abu al-Aswad al-Du’ali, beliau membaca kepada Amir al-Mukminin Ali ibn Abi Thalib.
2.      ‘Ashim ibn Abi Nujud dari Abi ‘Abd al-Rahman al-Sulami, beliau membaca secara langsung kepada Ali, sedangkan qira’ah yang tersebar di negeri timur adalah qira’ahnya ‘Ashim dari Hafsh ibn Sulaiman ibn al-Mughirah.
3.      Hamzah al-Zayyat dari Ja’far al-Shadiq, beliau membaca kepada Muhammad al-Baqir, beliau membaca kepada Ali Zain al-‘Abidin, beliau membaca kepada Husain ibn Ali ibn abi Thalib yang membaca kepada ayahnya, yakni Ali ibn Abi Thalib.
4.      Al-Kisa’I, beliau membaca kepada Hamzah al-Zayyat dengan sanad seperti yang di atas.
Imam Ali ibn Abi Thalib sangat menjaga otentisitas teks al-Qur’an yang ada di rasm utsmani, berdasarkan riwayat dari Ibn Khalwaih, yaitu ketika Imam Ali membaca ayat: وطلع منضود di mana di dalam rasm utsmani tertulis: وطلح منضود. Kemudian beliau diprotes oleh jama’ahnya: mengapa engkau merubah yang ada di mushaf?, Imam Ali menjawab: tidak seyogyanya yang ada di al-Qur’an itu dirubah.
Bagaimana mungkin Imam Ali yang dikenal kealimannya itu tetap memegang rasm utsmani, tidak merubahnya sedikitpun, bahkan permasalahan sekecil ‘ain yang dirubah dengan ha’ atau sebaliknya. Ini adalah sunnah yang baik yang dicontohkan oleh pendahulu Islam. Di dalam hadits: “siapa yang membuat sunnah yang baik sehingga orang yang setelahnya mengikutinya maka pahala orang tersebut dikirimkan ke pembuat sunnah.”
Baru-baru ini diceritakan ada mushaf yang disandarkan pada Ali, sebagaimana sampai kepada Kami (pengarang Tarikh al-Qur’an) akan adanya mushaf Ibn Mas’ud dan Ubay, mungkin saja permasalahan ini adalah termasuk masalah politik dan sejarah. Pada akhirnya ada orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang merancukan masalah ini. Oleh karena itu, Kami kira sangat urgen di sini untuk dijelaskan masalah mushaf Ali tersebut dari pandangan orang Syi’ah.
Di dalam Kitab-kitab orang Syi’ah itu diragukan tiga lafadz (nama kitab), dari apa? Ada di mana? Bersama siapa?, persoalan ini akan dijelaskan di bawah ini.
Orang-orang Syi’ah mempunyai Shahifah yang dinamakan dengan al-Jami’ah, diriwayatkan dalam kitab al-Kafi, dari Abi Bashir dari Ja’far al-Shadiq dalam hadis yang panjang, Abi bashir berkata: Ja’far bertanya padaku: Hai ayahnya Muhammad, kita punya al-Jami’ah, tahukah anda apa itu al-Jami’ah? Abi Bashir menjawab: ya begitulah, apa al-Jami’ah? Ja’far menjawab: Shahifah yang panjangnya 70 hasta (hastanya Nabi saw.), di dalamnya mencakup sesuatu yang menakjubkan, tulisannya Ali dengan tangan kanannya sendiri, di dalamnya termaktub halal-haram dan sesuatu yang dibutuhkan manusia termasuk di dalamnya diyat (denda) dari mencakar (pertengkaran).
Di dalam al-Kafi juga terdapat riwayat dari Abi ‘Ubaidah, beliau berkata: Abu Abdillah ditanya tentang al-Jufr, Abu Abdillah menjawab: ia adalah kulit yang kaya akan ilmu. Beliau ditanya lagi, apa itu al-Jami’ah? Beliau menjawab: ia adalah shahifah yang panjangnya 70 hasta, di dalamnya terdapat sesuatu yang dibutuhkan manusia, sampai hokum denda dari mencakar (pertengkaran.)
Jadi, ada dua buah kitabnya Syi’ah, yaitu al-Jami’ah dan al-Jufr, di sini (kitab ini) tidak akan didiskusikan keberadaan keduanya secara historis, karena keduanya adalah termasuk masalah ‘aqidah yang sulit dinalar.
Yang ketiga adalah mushaf Ali. Diriwayatkan dari Ibn Nadim, beliau berkata: pada zamanku, Aku melihat mushaf yang sudah hancur kertasnya pada Abu Ya’la Hamzah al-Hasani dengan tulisannya Ali ibn Abi Thalib, mushaf tersebut diwariskan oleh anak cucu Hasan.
Orang-orang Syi’ah meyakini bahwa Ali itu mempunyai al-Qur’an khusus yang dikumpulkan oleh sendiri setelah wafatnya Nabi saw., hanya saja al-Qur’an itu tidak diperlihatkan pada kaumnya, tetapi diwariskan pada anak cucunya.
Al-Qur’annya Ali itu berbeda dengan al-Qur’an yang ada sekarang ini, dari aspek penyusunannya, urutan surat dan ayatnya, bahkan kalimat-kalimatnya terdapat penambahan dan pengurangan. Susunan al-Qur’annya Ali berdasarkan turunnya ayat, mendahulukan ayat makkiyah ketimbang ayat madaniyyah, ayat yang mansukh ketimbang ayat nasikh.
Qira’ah Ali yang berdasarkan dialek:
اياك نعبد             = dengan fathahnya hamzah
نعبد                   = dengan mengisyba’kan dal, sehingga menimbulkan suara wawu
خطؤات الشيطان   = dengan hamzah dan didhommahkannya Tho’
فليصمه               = dengan kasrohnya lam
فنصف ما فرضتم  = dengan dhommahnya nun
ربيون                = dengan dhommahnya ro
قنوان-صنوان       = dengan dhommahnya qof dan dlodl
في مرية              = dengan dhommahnya mim
احد عشر             = dengan sukunnya ‘ain
تنكصون             = dengan dhommahnya kaf
لم يطمثهن            = dengan dhommahnya mim
وطلع منضود        = dengan ‘ain (tidak dengan ha’)
كذابا                   = dzal tidak bertasydid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar