BAB I
PENDAHULUAN
A. Islam, Politik dan HAM
Seluruh umat
muslim di semua belahan dunia tanpa terkecuali, berusaha untuk mendefinisikan
dan memproporsikan agama mereka dalam bingkai politik. Hasilnya secara
sederhana dapat disimpulkan dalam dua kalimat saja, divisive (pemisahan)
dan inconclusive (tanpa konklusi). Di satu sisi, mereka yang memandang
masalah ini dengan kacamata liberal, meletakkan pandangan sekuler dalam membaca
masalah ini, namun di sisi yang lain, mereka yang konservatif menggalakkan
pandangan religiusitas ketika menempatkan agama dalam dimensi politik.
Sayangnya, polarisasi
kedua perspektif ini menimbulkan kegagalan dalam membangun konklusi atau bahkan
konsensus yang established dalam sebuah
populasi umat Islam. Kita harus menyadari bahwa menampilkan agama sebagai
sebuah kepercayaan individual milik perseorangan tanpa melibatkan komunitas
lain yang lebih besar adalah sesuatu yang mustahil. Dalam konteks modernitas,
kita dituntut untuk terbiasa menganalisis masyarakat berdasarkan term “ hak
individu “. Kebebasan memeluk agama merupakan suatu konklusi berdasarkan
premis-premis di atas, namun hal ini
sering mengundang asumsi banyak orang tentang teori negara sekuler.
Permasalahannya
menjadi lebih kompleks ketika kita mulai berbicara tentang hak dalam berbagai
perspektif. Masyarakat merupakan sebuah kompromi dari semua individu yang ada,
hak dan kebebasan sepenuhnya didefinisikan dan dibatasi oleh hal tersebut.
Untuk dapat hidup berdampingan dengan orang lain, sikap dan perilaku seseorang
harus dapat diterima oleh orang lain di sekitarnya. Seseorang dapat benar-benar
menjadi bebas dalam arti sepenuhnya jika ia mengisolasi diri dari orang lain di
sekitarnya. Oleh karenanya, setiap orang yang berada dalam suatu komunitas
masyarakat terikat oleh sebuah kontrak implisit dengan masyarakat di mana ia
tinggal. Hak setiap individu akan ditentukan oleh kontrak ini berdasarkan
kultural yang berlaku dan norma-norma agama
di setiap komunitas. Perubahan sosial akan ditentukan oleh puas tidaknya
individu terhadap hasil
kontrak, sampai ia merasa perlu untuk memaksa masyarakatnya merundingkan
kembali kontrak implisit tersebut.
Berbicara
mengenai hak-hak yang dimiliki setiap individu di satu sisi dan keterikatannya
dengan suatu kontrak implisit di sisi yang lain, maka perbincangan seputar Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah niscaya. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya HAM
atau Human Rights ini merupakan suatu hal yang paling mendasar dan
fundamental sebagai cerminan dari konsep kesetaraan dan kemerdekaan manusia.
Sehingga tidaklah berlebihan jika kita mengatakan bahwa HAM ini merupakan “
syarat wajib “ yang mesti ada dalam sebuah negara. Di indonesia UUD 1945 dapat
dikatakan sebagai undang-undang terlengkap yang memuat perlindungan terhadap
HAM dan dijelaskan secara operasional dijelaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999.[1]
Intinya, konsep HAM kini telah membumi bahkan mendarah daging di negara kita.
Di tingkat internasional, puncak perjuangan akan pembelaan dan perlindungan HAM
ini ditandai dengan dikeluarkannya Universal Declaration of Human Rights
oleh PBB pada tahun 1948.
Sekarang timbul
sebuah pertanyaan, bagaimana kita menemukan pandangan dan support Islam
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) ?, sejauh mana Islam memberi perhatian kepada
masalah yang satu ini ?. Jawabannya tiada lain ialah merupakan beberapa “
interpretasi “ tentang ayat-ayat Al-Qur’an, bukan beberapa “ literal “
ayat-ayat Al-Qur’an. Maka makalah Ayat-Ayat HAM ini dimaksudkan untuk memberikan
sebagian kecil support Al-Qur’an seputar HAM yang terdiri dari beberapa
interpretasi singkat para Ulama seputar ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait
masalah HAM.
B. Rumusan Masalah
Beberapa topik
sentral yang menjadi pembahasan makalah ini ialah :
1. Apakah
Islam itu ?
2.
Apakah HAM itu ?
3. Bagaimana Islam berbicara tentang HAM ?
BAB II
DESKRIPSI
A. Islam
Teologis, Kosmos dan Kosmis
Secara etimologis, Islam berasal dari aslama-yuslimu-Islaam-salaam
atau salaamah, yaitu tunduk kepada kehendak Allah SWT agar menadapat salaam
/ salaamah (keselamatan atau kedamaian) di dunia dan akhirat. Prosesnya
disebut Islam dan pelakunya disebut muslim. Jadi Islam
adalah proses bukan tujuan. Islami ialah setiap proses yang mengantarkan kepada
keselamatan dan kedamaian dari dunia (kosmos dan kosmis) sampai akhirat
(teologis).[2]
Kehendak Allah
diekspresikan dalam tiga ayat berbeda yang komplementer. Pertama, ayat
Qur’aniyah, yaitu tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat dalam Qur’an dan
Hadits Sahih. Diantara hukum yang terpenting di sini ialah Tauhid (Keesaan
Allah), akhlak (moralitas) dan keadilan (hukum kepasangan positif-negatif).
Kedua, ayat
kauniyah, yaitu tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di jagad raya (kosmos).
Tanda kebesaran Allah di sini ialah hukum kepasangan yang dititipkan Allah pada
benda-benda alamiah. Sunnatullah (hukum alam) memegang peranan kunci dalam
keselamatan dan kedamaian di dunia. Jadi, Islami pada tingkat alam ialah
menyeimbangkan potensi negatif dan positif suatu benda kapan pun dan di mana
pun. Islami di sini dapat ditarik sampai memaksimalkan potensi positif dan
meminimalkan potensi negatif suatu benda. Hukum alam ini berlaku bagi siapa
saja tanpa mengenal batas kemanusiaan apapun seperti agama, ras dan status
sosial.
Ketiga, ayat
Insaniah, yaitu tanda-tanda kebesaran Allah atau hukum-hukum Allah yang
mengatur kehidupan manusia (kosmis). Lagi-lagi hukum yang berlaku di sini ialah
hukum kepasangan. Islam dan Iman pada tingkat ini ialah menyeimbangkan potensi
positif dan negatif, yaitu menciptakan keseimbangan atau keadilan sosial.
Posisi ayat insaniyah berada di tengah-tengah lebih pasti dari ayat Qur’aniyah
(dosa vertikal mudah diampuni Allah) dan lebih fleksibel dari ayat kauniyah,
karena kesalahan sosial dapat diampuni namun kesalahan alamiah seringkali tidak
bisa diampuni. Maka, Islam adalah mengintegrasikan kehendak Allah yang ada
dalam Kitab Suci, alam dan manusia, sehingga terbebas dari bencana teologis,
kosmos dan kosmis. Inilah yang disebut islam Kaffah.[3] Dalam
relevansinya dengan Islam, maka konsep HAM ini memasuki wilayah operasi Islam
kosmis dan tentunya dengan rambu-rambu ayat-ayat Qur’aniyah sebagai ayat yang
pokok.
B. Seputar HAM
Tonggak
berlakunya HAM internasional ialah pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) pada 10 Desember 1948 di Paris, Prancis. Deklarasi ini ditanda tangani
oleh 48 negara dari 58 negara anggota PBB dan disetujui oleh majelis umum PBB.
Perumusan penghormatan dan pengakuan norma-norma HAM yang bersifat universal,
nondiskriminasi, dan imparsial telah berlangsung dalam sebuah proses yang
sangat panjang.
Hak asasi manusia
merupakan hak dasar, pemberian Tuhan dan dimiliki manusia selama hidup dan
sesudahnya serta tidak dapat dicabut dengan semau-maunya tanpa keentuan hukum,
sehingga harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh individu, masyarakat dan
negara. Tiap manusia memiliki hak untuk hidup , kawin, berkeluarga, kebebasan
berfikir, kesenangan, keselamatan, dll. Karena individu memiliki hak-hak itu,
maka kewajiban individu lain untuk menghormatinya.[4]
Konsep dasar HAM
menurut Fanz Magnis-Suseno mempunyai dua dimensi pemikiran, yaitu : [5]
1. Dimensi Universalitas, yakni substansi HAM itu
pada hakikatnya bersifat umum. HAM akan selalu dibutuhkan oleh siapa saja dan
dalam aspek kebudayaan manapun, apakah itu kebudayaan barat atau timur.
2. Dimensi Kontekstualitas, yakni menyangkut
penerapan HAM jika ditinjau dari tempat berlakunya HAM tersebut. Maksudnya
adalah ide-ide HAM dapat diterapkan secara efektif sepanjang tempat ide-ide HAM
itu memberikan suasana yang kondusif.
Terdapat dua
garis besar pembagian hak asasi manusia yaitu Hak Negatif dan Hak Positif.
Pembagian hak-hak ini berhubungan dengan dengan ukuran keterlibatan negara
dalam pemenuhan hak asasi manusia. Pembagian ini tidak berdasarkan baik atau
buruk dalam hak yang terkandung di dalamnya.
Mengenai Hak
Negatif adalah hak meminimalkan peran campur tangan negara, maka semakin
terpenuhi pula hak-hak sipil dan politik. Peminimalisiran peran negara dalam pemenuhan
hak-hak sipil dan politik karena hak-hak yang berkaitan dengan sipil dan
politik adalah hak yang berkaitan dengan kebebasan. Karena sebagian besar
kandungan hak-hak sipil politik adalah hak-hak atas kebebasan (rights to
liberty).
Selain hak hak sipil
dan politik diatas hak asasi manusia juga mencakup hak dalam bidang ekonomi,
sosial dan budaya. Hak ini termasuk dalam pembagian hak positif yang
mengusahakan peran negara secara maksimal dalam pemenuhannya. nya hak ini dalam
HAM universal adalah buah dari perdebatan blok sosialis eropa timur dengan blok
liberal. Karena blok sosialis lebih berpegangan pada ekonomi sebagai dasar
masyarakat. Kebijakan negara sosialis lebih menitikberatkan pada pemenuhan
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya seperti pendidikan gratis. Sedangkan
masyarakat blok liberal lebih menekankan manusia sebagai individu yang bebas.
Namun, akhirnya usulan dari blok sosialis diterima. Sehingga HAM universal
menganjurkan melindungi dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya setiap
warganya.
Adapun
nilai-nilai dasar yang terkandung dalam HAM ialah :
1. Kesamaan (equality)
2. Kebebasan (liberty)
3. Kebersamaan (solidarity)[6]
C.
Islam dan HAM
Hak
asasi manusia tertuang secara transenden untuk kepentingan umat manusia, lewat
syari’ah Islam yang diturunkan melelui wahyu. Pada dasarnya HAM dalam Islam
terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam “Maqashid Syari’ah”. Konsep
ini berisi lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu
din (penghormatan kebebasan beragama), hifdzul mal (penghormatan
harta benda), hifdzun nafs wal ‘irdl (penghormatan atas jiwa dan
kehormatan individu), hifdzul ‘aql (penghormatan kebebasan berfikir),
dan hifdzun nasl (keharusan menjaga keturunan).
Penghargaan
Al-Qur’an terhadap HAM dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an :
1. Al-Qur’an berbicara tentang hidup dalam 80
ayat, pemeliharaan kehidupan (misalnya, Al-Maidah : 32) dan 20 ayat tentang
kehormatan
2. Al-Qur’an berbicara tentang ciptaan dan
makhluk-makhluk serta persamaan antar makhluk dalam 150 ayat, seperti
Al-Hujurat : 13
3. Al-Qur’an menentang kezaliman dan orang
zalim dalam 320 ayat dan memerintahkan berbuat adil dalam 50 ayat
4. Dalam Al-Qur’an sekitar 10 ayat berbicara
tentang larangan memaksa untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan
berasprasi, seperti Al-Kahfi : 29.
C.
Al-Qur’an Berbicara HAM (
Interpretasi Singkat Ayat-Ayat HAM)
1.
Hak hidup,
keselamatan diri, memperoleh perlindungan
diri, kehormatan dan harta benda, Al-Maidah
ayat 32 :
“ Oleh Karena itu
kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh
manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya
Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi “. (Al-Maidah : 32)
Syekh
Musthafa Al-Maraghy dalam tafsirnya berkomentar : Ayat ini mengindikasikan
kepada kita akan kewajiban menjaga kesatuan umat manusia (wahdatul basyar),
menjaga kelangsungan hidup mereka, menyingkirkan segala hal yang dapat
membahayakan setiap individu dan memenuhi hak setiap individu. Jika anda melanggar dan merusak kehormatan individu
itu berararti anda merusak kehormatan seluruh manusia, sebaliknya ketika anda
memenuhi hak-hak individu maka anda telah memenuhi hak-hak seluruh manusia (hak
universal).[7]
Di sini kita dapat melihat betapa besar penghargaan Islam terhadap inti
dari hak asasi yakni hak untuk mendapatkan kehidupan. Dengan tegasnya Al-Qur’an
melarang pembunuhan tanpa didasarkan alasan yang dibenarkan agama. Bahkan
hukuman bagi pembunuh (qishas) dalam Surat Al-Baqarah : 178 dan An-Nisa
: 93 semata-mata merupakan bentuk tindakan paling tegas dari ayat Al-Qur’an
demi menjaga kelangsungan hidup manusia.
2. Hak Kebebasan Beragama, Surat
Al-Baqarah ayat 256 :
“ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah
berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui “.
(Al-Baqarah : 256)
Masih menurut Syekh Al-Maraghy,
tidak ada paksaan untuk masuk agama Islam, karena Iman adalah kepatuhan (idz’an)
dan ketundukan (khudlu’), dan keduanya tidak akan pernah terwujud oleh
pemaksaan, melainkan dengan hujjah (argumen). Cukuplah ayat ini sebagai dalil
bagi para musuh Islam yang menyatakan bahwa Islam tidak akan berdiri kecuali
dengan pedang sebagai penolongnya.[8]
Jawdat Said menyebut ayat di atas
sebagai âyat kabîrat jiddân (ayat universal). Apalagi, menurut Jawdat
Said, ayat itu dinyatakan persis setelah ayat kursi yang dianggap sebagai salah
satu ayat paling utama. Jika ayat kursi mengandung ajaran penyucian Allah, maka
ayat tersebut mengandung penghormatan kepada manusia, yang salah satunya adalah
menjamin hak kebebasan beragama.
Ayat ini juga melarang membunuh orang yang pindah agama, karena ayat itu
turun untuk melarang pemaksaan dalam soal agama. Said menambahkan, para perawi
hadits yang memerintahkan membunuh orang murtad tak pernah menjelaskan sebab
kehadiran (sabab al-wurûd) hadits tersebut. Said menilai hadits itu
sebagai dla`îf karena bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam
yang menjamin kebebasan beragama. Jika bisa disebut sebagai hadits, maka itu
berarti larangan kepada seseorang untuk masuk pada suatu agama sekedar untuk
main-main, bukan atas dasar keimanan. Menurut Jaudat Said, sejak mula Islam
memperkenalkan kebebasan beragama. Orang yang memaksakan agama menurut Jaudat
Said, mengidap penyakit jiwa (maradl nafsiy). Bahkan, Said menegaskan bahwa jihad disyari’atkan untuk menghapuskan
pemaksaan (al-ikrah) dan membiarkan seluruh manusia merdeka dalam
memilih sesuatu yang dianggapnya benar.[9]
Di samping Islam menjunjung tinggi kemerdekaan beragama,
ia juga menuntun umatnya untuk biasa bersikap toleransi terhadap pemeluk agama
lain, termasuk juga melindungi hak-haknya. Misalnya kita dilarang untuk memaki sesembahan penganut agama lain,
meskipun hal itu termasuk syirik dalam Islam,
“ Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan …” ( Al-An’am : 101 )
3. Hak Atas keadilan, Surat
An-Nahl Ayat 90 :
“
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran
“. (An-Nahl : 90)
Imam
Ali As-Shabuni berkata dalam Shafwah At-Tafasir-nya bahwa Allah SWT menyuruh
kita untuk berakhlak mulia dengan adil kepada seluruh manusia dan berbuat baik
(ihsan) kepada semua makhluk. Allah melarang kita dari perbuatan dan
perkataan yang keji. Ibnu Mas’ud berkata : “ ayat ini merupakan ayat yang
paling mencakup akan poin-poin kebaikan yang mesti dilaksanakan, dan
kejelekan-kejelekan yang mesti dijauhi “. Kata
fahsyaa (keji) berarti
segala sesuatu yang benar-benar dipandang jelek menurut agama, seperti syirik
dan zina. Kata Munkar berarti segala sesuatu yang melawan fitrah
manusia. Kata Baghy (permusuhan) berarti kezaliman dan melampaui
batas-batas kebenaran dan keadilan.[10]
Keadilan
merupakan cita-cita dasar Islam dan merupakan disiplin mutlak untuk menegakkan
kehormatan manusia. Islam mewajibkan kita untuk berlaku adil kepada siapa pun
dan di mana pun. Misalnya kita temukan ayat yang menganjurkan berbuat baik dan
berlaku adil kepada ahli kitab (Al-Mumtahinah : 8) bahkan kepada musuh sekali pun
(Al-Maidah : 2). Di sini kita dapat melihat penghargaan Islam akan keadilan dan
kesetaraan di tengah pluralitas. Lawan dari adil ialah zalim, salah satu hal
yang paling ditentang oleh Islam yang dicela Al-Qur’an dalam 320 ayat yang
berisi penentangan akan kezaliman dan orang yang zalim.
4. Hak Persamaan ( Equality ), Surat
Al-Hujurat Ayat 13 :
“ Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal “. (Al-Hujurat : 13)
Tuhan menjadikan kita dari satu
keturunan, Adam dan Hawa, maka masih terlintaskah di benak kita untuk mencaci
maki orang lain (yang masih satu keturunan) ?, sungguh sangat ironis jika ada
seseorang yang mencaci maki saudaranya sendiri. At-Thabary meriwayatkan : “
Rasulullah Saw berkhutbah di atas unta ketika pertengahan hari tasyriq : ‘ Hai
manusia, ketahuilah bahwa Tuhanmu itu satu dan bapakmu juga satu, ingatlah,
tidak ada superioritas bangsa arab atas bangsa-bangsa yang lainnya dan juga
sebaliknya. Tidak ada superioritas orang berkulit hitam atas orang berkulit
merah dan juga sebaliknya kecuali hanya dengan ketakwaan ‘.[11]
Inilah
Islam, agama yang menjunjung tinggi equality (persamaan) dan
plurality (pluralitas) di kalangan umat manusia. Ia menyatakan perang
terhadap rasisme, diskriminasi, marginalisasi, superioritas, disintegrasi dan
fanatisme. Tidak ada alasan bagi manusia untuk saling menyombongkan diri.
Tujuan Tuhan menjadikan kita serba plural tiada lain adalah untuk saling mengenal.
Menurut Syekh Ali As-Shabuni, maksud kata “ lita’arafuu “ ialah supaya kamu
bisa saling mengenal dan menebar kasih sayang satu sama lain. [12]
Konsep equality dalam Islam
ini mencakup segala aspek, termasuk di dalamnya persamaan di depan hukum, baik
laki-laki atau wanita (Al-Maidah : 38). Sebagaimana kita tahu bahwa sebelum
Islam datang, dalam tradisi kaum paganisme arab, perempuan adalah makhluk nomor
dua, maka dehumanisasi ( allaa insaniyyah ) terhadap kaum perempuan
pernah terjadi dalam panggung sejarah. Al-Kitab menyatakan wanita sebagai
afterthought, untuk menjadi penolong pria. Confucius menyatakan bahwa ada
dua makhluk yang sukar diatur, perempuan dan turunan orang rendah. Islam mengakhiri
semua ini sekaligus melakukan usaha emansipasi yang pertama kali dalam sejarah.
Semuanya sama,hanya ketakwaan yang membedakan derajat manusia di hadapan
Tuhannya.
5. Hak Memperoleh Kemerdekaan Berfikir,
Berpendapat, dan Hak Memperoleh Pendidikan dan Pengajaran, Surat Al-A`raf ayat
179, An-Nisa ayat 148, At-Taubah ayat 122
:
“ Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai “ (Al-A’raf : 179)
“ Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang kami berikan kepada mereka “. (As-Syura : 38)
“ Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya
“ . (At-Taubah : 122)
Mengomentari
Surat Al-A’raf : 179 ini, Syekh Muhammad Abduh berkata, Kata “qulub”
dalam ayat ini ialah bermakna akal dan intuisi rohani. Kata “yafqahuna /
fiqh” berarti mengetahui (‘ilm) dan memahami (fahm).
Maksudnya ialah mereka yang tidak menggunakan akal mereka untuk memahami
ayat-ayat Tuhan yang tertuang di dalam diri mereka ataupun di alam semesta,
atau ayat-ayat yang ditegaskan para Rasul termasuk ayat-ayat ilmiah, ayat-ayat
kosmos (kauniyah) dan ayat-ayat sosial yang berupa sunnatullah dalam
konteks masyarakat (kosmis).[13]Jelaslah
bahwa ayat ini memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dan alat inderanya,
menyia-nyiakan atau memasung fungsi akal dan alat indera sama dengan menantang
ancaman neraka.
Kebebasan berpendapat dalam Islam juga
dijamin oleh lembaga syura, sebagaimana tertera dalam surat As-Syura : 38.
Konsep musyawarah merupakan suatu hal yang paling disoroti oleh Islam, karena
musyawarah merupakan cara paling efektif dalam menemukan sintesis dari
perbenturan tesis dan antitesis. Berawal dari sebuah adagium one men one
vote maka setiap tesis “wajib” disusul oleh suatu antitesis, ketika
keduanya berbentur penyelesaiannya hanya bisa dengan musyawarah. Karena yang
menjadi tujuan pokok musyawarah adalah mencapai kata “mufakat”, maka semua
peserta musyawarah diberikan hak yang sama dalam memberikan opini. Kebebasan
untuk mengeluarkan pendapat sangat dihargai Islam, tentunya dengan rambu-rambu
tertentu, sehingga tidak menjadi kebebasan yang “liar”.
Adapun Surat At-Taubah : 122, ayat ini
memberi indikasi kepada kita akan kewajiban menuntut ilmu / mengenyam
pendidikan (tafaqquh) dan kewajiban meratakan pendidikan di seluruh
daerah serta memberikan pendidikan (tafqiih) secara merata di seluruh
daerah, sehingga orang-orang di daerah tersebut menjadi kaum terdidik,
setidaknya dalam batas minimal mereka dapat mengetahui ilmu-ilmu yang wajib
mereka ketahui seperti ilmu agama.[14]
Maka hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran merupakan suatu hak yang
fundamental dalam kehidupan manusia, karena melalui pendidikan dan pengajaran
ini, manusia akan memperoleh bekal untuk melakukan perjalanan hidupnya di dunia
(life skill) sampai di akhirat (ilmu agama).
6. Hak
Kepemilikan, Surat Al-Baqarah Ayat 188 :
“ Dan janganlah sebagian kamu
memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu Mengetahui “. (Al-Baqarah : 188)
Spirit
Syari’ah Islam mengajari kita untuk berpedoman kepada ideal moral ayat ini,
bahwasanya seseorang dituntut untuk mengusahakan harta dengan cara yang benar
sesuai syari’at yang tidak merugikan siapapun.[15]Dengan
demikian Islam menjamin akan kepemilikan yang sah dan mengharamkan cara apapun
untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya. Islam melarang segala
usaha yang merugikan hajat manusia, Islam juga mengharamkan penipuan dalam
perniagaan. Islam juga melarang pencabutan hak milik yang didapatkan dari usaha
yang halal, kecuali untuk kemaslahatan umum, dan mewajibkan pembayaran ganti rugi
yang setimpal bagi pemiliknya.
7. Hak Memperoleh Pekerjaan Yang Layak, Surat
Al-Mulk Ayat 15 :
“ Dialah yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan “. (Al-Mulk : 15)
Tuhan
telah menundukkan dan menjadikan bumi ini tempat yang mudah bagimu, Ia telah
menjadikan bumi sebagai tempat bersinggah yang tenang. Janganlah merasa risau dan bimbang dengan gunung-gunung
yang terpancung, temukanlah mata air di dalamnya untuk kamu minum, juga bagi
ternakmu, kebunmu dan buah-buahan milikmu. Telusurilah jalan-jalannya,
jelajahilah ke seluruh penjurunya sesuka hatimu, sisirlah seluruh wilayahnya,
untuk mendapatkan bermacam-macam penghidupan dan perniagaan. Makanlah apa-apa
yang telah disediakan Tuhanmu di sana, rezeki yang amat luas menantimu di dalam
sana, dengan anugrah Allah SWT.[16] Bumi diciptakan Allah untuk kebaikan manusia
tetapi manusia harus mengambil inisiatif sendiri secara bebas untuk menentukan
pilihan terhadap pekerjaanya.
BAB III
Kesimpulan
Dari uraian
singkat di atas, dapat ditarik sebuah konklusi bahwa Islam adalah agama yang
kompleks dan universal. Jauh
sebelum Magna Charta, Bill of Rights, Petiton of Rights, Hobeas Corpus Act,
Declaration of Independence, Declaration des Droits de L’homme Et Du Citoyen
dan Universal Declaration of Human Rights oleh PBB dikumandangkan,
Risalah Muhammad Saw. 14 abad sebelumnya telah memproklamirkan HAM ini dalam
rangka mengangkat harakat dan martabat manusia.
Islam adalah agama yang paling pertama dan utama dalam mendeklarasikan HAM ini baik dari segi historis, kualitas dan keluasan cakupannya.
Islam adalah agama yang paling pertama dan utama dalam mendeklarasikan HAM ini baik dari segi historis, kualitas dan keluasan cakupannya.
Satu hal yang penting dari sistem ayat
Al-Qur’an terkait hal ini, jika kita perhatikan dengan seksama, ketika
Al-Qur’an berbicara hak asasi ini, maka di sana terdapat suatu keniscayaan,
yakni “ kewajiban asasi “ dan “ tanggung jawab asasi “ yang merupakan
konsekuensi logis dari hak asasi itu sendiri. Misalnya ketika seseorang itu
diberikan hak untuk bebas memilih suatu agama (Al-Baqarah : 256), maka ketika
itu pula ia berkewajiban untuk menghormati pemeluk agama lain (Al-Kafirun : 6)
dan bertanggung jawab dengan pilihannya itu, dalam artian menanggung segala
konsekuensinya (Al-Baqarah : 281). Walhasil, ketika orang tersebut menjatuhkan
pilihannya terhadap suatu agama, maka orang tersebut terikat dengan
aturan-aturan yang berlaku di agama itu.
Pada tanggal 21 Dzulqa`idah 1401 H (19
September 1981), para ulama dan pakar Islam mengadakan muktamar di London untuk
melihat rincian hak-hak asasi yang dideklarasikan Islam 15 abad yang lalu dalam
Alquran. Muktamar tersebut meringkas HAM dalam Islam sebagai berikut : 1. Hak
hidup, 2. Hak mendapat kebebasan, 3. Hak persamaan, 4. Hak mendapat keadilan,
5. Hak mendapat perlakuan pengadilan yang adil, 6. Hak mendapat perlindungan
dari penyiksaan, 7. Hak mendapat perlindungan atas kehormatan dan nama baiknya,
8. Hak mendapat suaka di negara Islam, 9. Hak mendapatkan kebebasan dalam berfikir,
memeluk suatu keyakinan dan kebebasan berpendapat, 10. Hak ikut serta dalam
kehidupan umum, 11. Hak untuk menghormati hak-hak kelompok minoritas, 12. Hak
kebebaasan beragama, 13. Hak berdakwah dan menyampaikan ajaran, 14. Menikmati
hak-hak ekonomi, 15. Hak mendapat perlindungan milik pribadi, 16. Hak mendapat
pekerjaan, 17. Hak mendapat kebutuhan pokok untuk hidup layak, 18. Hak untuk
membangun keluarga, 19. Hak mendapatkan pendidikan yang layak, 20. Hak
masing-masing suami dan istri, 21. Hak individu untuk mendapatkan perlindungan
hal-hal khusus priadinya, 22. Hak untuk bepergian dan bertempat tinggal (Dr.
Ashim Ahmad Ujailah, Al hurriyah Al-Fikriyyah).[17]
Daftar Pustaka
Erwin,
Muhammad. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, Bandung:
PT. Refika Aditama, 2010.
Wahyudi,
Yudian. Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Politik, Yogyakarta: Nawesea
Press, 2007.
Al-Maraghy,
Musthafa. Tafsir Al-Maraghy, Kairo: Babil Halaby, 1946.
As-Shabuni,
Ali. Shafwah At-Tafaasir, Beirut: Darul Qur’anil Karim, tanpa tahun.
Ridla,Sayyid
Rasyid. Tafsir Al-Qur’anil Hakim (Tafsir Al-Manar), Mesir: Mathba’ah
Al-Manar, 1932.
Suseno,
Franz Magnis. Etika Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Abd.
Moqsith Ghazali, “Jawdat Said dan Tafsir Laa Ikraaha Fiddin” dalam www.islamlib.com, diakses tanggal 16 Januari 2011.
[1] Muhammad Erwin, Pendidikan Kewarganegaraan, (Bandung :
PT.Refika Aditama, 2010), hlm. 174
[2] Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Poltik, (Yogyakarta
: Nawesea Press, 2007), hlm.25
[4] Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, hlm. 158
[5] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik (Prinsip-prisip Moral Dasar
Kewarganegaraan Modern), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 114
[6] Pendidikan Kewarganegaraab Republik Indonesia, hlm. 166
[9] Abd. Moqsith Ghazali, Jawdat
Said dan Tafsir Laa Ikraaha Fid Din, www.islamlib.com, diakses 16 januari 2011
[10] Ali As-Shabuny, Shafwah At-Tafaasir, ( Beirut : Darul Qur’an
Al-Karim, tanpa tahun ) jilid 2, hlm.139
[11] Tafsir Al-Maraghy, Juz 26, hlm. 126
[12] Shafwah At-Tafaasir, Jilid 3, hlm. 236
[13] Sayyid Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Mesir : Mathba’ah
Al-Manar, 1932), Juz 6, hlm 355-356
[14] Tafsir Maraghy, Juz 11, hlm. 48
[15] Tafsir Al-Manar, Juz 2, hlm 158
[16] Tafsir Al-Maraghy, Juz 29, hlm 15
[17] Dr. Ashim Ahmad Ujailah, Al hurriyah al fikriyah, Nahdhoh Misr,
hal. 13-14 dalam Ahmad Satori dkk: 64-65)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar