Menyusunan Paragraf dan Wacana
Modal dasar dalam menyusun sebuah karangan, baik
karya tulis ilmiah maupun karya populer, adalah penguasaan teknik penyusunan
paragraf dan wacana. Pada tataran paragraf dan wacana ini ide kompleks dari
seorang penulis dapat terbaca sebagai sebuah kesatuan. Jika distribusi ide itu
telah dilakukan dengan baik, ide utama telah diletakkan pada tempat yang tepat,
dan kalimat demi kalimat telah disusun secara sistematis oleh penulis, pembaca
pun mudah memahami pokok-pokok pikirannya. Selain itu, melalui penyusunan
paragraf dan wacana yang baik pembaca juga mudah menyimpulkan pemikiran yang
ingin dikomunikasikan penulis melalui tulisannya.
A. Prinsip Utama dalam
Menyusun Paragraf
Ketika seseorang memiliki kesatuan ide dan ingin menulis sebuah
karangan, tentu ia akan memulai dari karangan yang paling singkat, yaitu
paragraf. Paragraf ini merupakan kesatuan pikiran yang lebih tinggi dan lebih
luas daripada kalimat. Dalam paragraf itu terkandung sebuah pikiran yang
didukung oleh semua kalimat dalam paragraf tersebut. Akhadiah (1991: 144)
berpendapat, dalam sebuah paragraf himpunan kalimat-kalimat dalam paragraf itu
saling bertalian membentuk sebuah gagasan. Sementara itu, Keraf (1993: 51)
menyebut paragraf sebagai alinea dengan pengertian yang hampir sama.
Dalam sebuah karangan paragraf terdiri atas (a) paragraf pembuka,
(b) paragraf penghubung, dan (c) paragraf penutup. Paragraf pembuka memiliki fungsi membuka suatu karangan, menarik
minat dan perhatian pembaca, serta menyiapkan pikiran pembaca. Paragraf penghubung adalah semua
paragraf yang terdapat di antara paragraf pembuka dengan paragraf penutup.
Sementara itu, paragraf penutup memiliki
fungsi mengakhiri karangan/bagian karangan, mengandung kesimpulan yang bulat
serta betul-betul mengakhiri uraian, dan
menimbulkan banyak kesan.
Ada empat prinsip dalam
menyusun paragraf, yaitu (a) kesatuan, (b) kepaduan, (c) kelengkapan,
(Akhadiah, dkk. 1991: 148), serta (d) kebakuan. Prinsip penyusunan paragraf itu
akan diuraikan sebagai berikut.
1. Kesatuan
Setiap
paragraf hanya mengandung satu gagasan pokok atau topik. Sebuah paragraf dianggap mempunyai kesatuan jika
kalimat-kalimat dalam paragraf itu tidak terlepas dari topiknya atau relevan
dengan topiknya. Dalam karya tulis ilmiah, sebuah ide pokok tidak cukup hanya
dijelaskan dengan satu kalimat yang lain mengingat spirit utama dalam karya
ilmiah ialah menguraikan sesuatu dengan sangat jelas.
Sering
terjadi seorang penulis menambahkan pemikiran baru di akhir paragraf karena ia
menemukan ide baru pada saat menyusun sebuah paragraf. Hal semacam ini akan mengacaukan pemetaan
pikiran pembaca karena pada dasarnya sebuah paragraf dibuat menjorok pada
bagian awalnya sebagai penanda bahwa ada satu ide yang baru. Dengan demikian,
penyusunan paragraf yang ideal terdiri atas satu kalimat yang mengandung ide
utama dan beberapa kalimat lain yang menjelaskan atau menguraikan ide utama
tersebut.
2. Kelengkapan
Sebuah
paragraf disebut lengkap jika memiliki kalimat-kalimat penjelas yang
menjelaskan kalimat topik atau kalimat utama. Ada empat cara untuk meletakkan
kalimat utama, yaitu sebagai berikut.
a. Pada awal paragraf. Paragraf ini diawali
dengan menuliskan topik utama atau kalimat utama dan diikuti oleh
kalimat-kalimat penjelas yang menjelaskan kalimat utama. Paragraf ini biasanya
bersifat deduktif, yaitu dari yang
umum kepada yang khusus.
b. Pada akhir paragraf. Paragraf ini
diawali dengan kalimat-kalimat penjelas dan diakhiri dengan kalimat utama.
Paragraf ini biasanya bersifat induktif dari yang khusus kepada yang umum.
c. Pada awal dan akhir paragraf. Paragraf
ini diawali dengan menuliskan topik utama atau kalimat utama dan diikuti oleh
kalimat-kalimat penjelas yang menjelaskan kalimat utama. Selanjutnya, paragraf
ini ditutup dengan memberikan penegasan kembali sebagaimana yang tertuang dalam
kalimat utama. Dengan demikian, paragraf ini masih memenuhi prinsip kesatuan
karena masih dalam satu topik utama. Paragraf ini sering disebut dengan
paragraf deduktif-induktif.
d. Tersebar di seluruh kalimat. Paragraf
ini pikiran utamanya terdapat pada seluruh kalimat yang membangun paragraf itu,
misalnya dalam karangan yang berbentuk narasi (cerita) maupun deskripsi
(pelukisan). Paragraf yang demikian tidak menjadi fokus dalam tulisan ini.
3. Kepaduan
Sebuah paragraf dibangun oleh
kalimat-kalimat yang mempunyai timbal balik. Kepaduan ini dibangun dengan
memperhatikan unsur-unsur kebahasaan yang digambarkan dengan (a) repitisi atau
pengulangan kata kunci, (b) pemakaian kata ganti, (c) penggunaan kata-kata
transisi maupun penghubung. Selain itu, kepaduan juga dibangun dengan
memperhatikan pemerincian dan urutan isi paragraf (Nasucha dkk., 2009: 39).
4. Kebakuan
Kebakuan
yang dimaksud dalam paragraf ini ialah ketaatan dan konsistensi penulis dalam
menggunakan aturan-aturan penulisan yang terdapat dalam satuan bahasa
sebelumnya. Kebakuan ini akan menjamin ide pokok yang dimaksud oleh penulis
serupa dengan pemahaman yang diterima oleh pembaca.
Di
bawah ini contoh paragraf yang memenuhi prinsip menyusun paragraf.
Seorang
filosof Muslim dari Mesir, Hasan Hanafi, menyatakan dengan tegas bahwa filsafat
Islam kontemporer harus berdialog langsung dengan filsafat Barat (1).
Menurutnya, filsafat Islam harus bergumul, berhadapan, dan merespons persoalan
yang diangkat ke permukaan oleh filsafat Barat (2). Dasar pertimbangan Hasan
Hanafi ini sederhana saja (3). Falasah Islam Klasik, baik dalam era al-Farabi
maupun era Ibn Rusdh, juga bergumul langsung, bahkan sangat intensif, dengan
falsafah Yunani (4).
Paragraf
di atas memenuhi prinsip kesatuan,
yaitu ada satu ide pokok tentang pemikiran. Selain itu, paragraf itu juga
memenuhi prinsip kelengkapan dengan
adanya kalimat utama dan beberapa kalimat penjelas. Dalam hal ini kalimat
utamanya berada pada kalimat (1), sedangkan kalimat penjelas yang mendukung ide
pokok tersebut terdapat pada kalimat (2). (3), dan (4). Untuk memenuhi prinsip kepaduan, semua kalimat penjelas dalam
paragraf itu memiliki penanda yang menghubungkan kalimat penjelas (2), (3), dan
(4) dengan ide pokok yang terdapat dalam kalimat (1). Penanda itu terdapat
dalam menurutnya pada kalimat (2), ini pada kalimat (3), dan juga pada kalimat (4). Kalimat-kalimat
di atas juga tersusun atas kata-kata baku, terangkai dalam kalimat yang efektif
sehingga informatif bagi pembaca. Dengan demikian, kalimat tersebut juga
memenuhi prinsip kebakuan.
Jika
dilihat penalarannya, paragraf di atas tergolong paragraf deduktif. Sebaliknya
jika ide pokok tersebut berada di akhir paragraf tersebut dapat disebut sebagai
paragraf induktif. Sementara itu, jika paragraf di atas diberi tambahan
penegasan pada akhir paragraf dengan inti atau pokok pikiran yang sama dengan
kalimat (1), paragraf tersebut dapat disebut sebagai paragraf
deduktif-induktif.
Paragraf-paragraf
di atas dapat dikembangkan dengan teknik tertentu yang biasa disebut dengan
pola pengembangan paragraf. Di antara teknik itu ialah dengan klimaks-antiklimaks, perbandingan dan
pertentangan, analogi, sebab-akibat, definisi luas, klasifikasi, contoh, dan sebagainya. Teknik-teknik
tersebut penggunaannya tergantung sifat ide pokok yang ingin diuraikan. Dengan
demikian, sebuah karangan utuh dapat terdiri atas paragraf-paragraf yang
variatif pola pengembangannya.
2. Menyusun Wacana Argumentatif
Sebagai
sebuah karangan utuh, wacana merupakan satuan kebahasan yang tertinggi dalam
hierarki gramatika. Penulisan
wacana merupakan aspek penting yang harus dikuasai oleh cendekiawan agar idenya
yang tertuang dalam tulisan menjadi mudah dipahami secara luas. Sebagai sebuah
kompisisi yang menarik, penataan ide dalam pikiran seorang cendekiawan harus
berimbang dengan penguasaannya terhadap struktur internal kebahasaan yang telah
dijelaskan dalam bab sebelum ini.
Wacana
dapat dibedakan menjadi (a) wacana naratif, (b) wacana hortatori, (c) wacana
prosedural, (d) wacana ekspositori atau wacana argumentatif. Wacana naratif adalah wacana yang
digunakan untuk mengungkapkan cerita, seperti dongeng, fiksi, dsb.. Wacana hortatori adalah wacana yang
digunakan untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain, seperti iklan, slogan,
pidato kampanye, dsb. Wacana
prosedural adalah wacana yang digunakan untuk mengungkap tahapan-tahapan
atau prosedur-prosedur pembuatan sesuatu, misalnya resep masakan, proses
pendirian gedung, pembuatan baju, dsb. Wacana
ekspositori atau wacana argumentatif
adalah wacana yang digunakan untuk mengungkapkan pendapat, keyakinan, dsb.,
seperti laporan penelitian, karya tulis, dsb. (Wijana, 2008: 76)
Namun,
pada umumnya, seseorang yang telah mengenyam pendidikan menengah telah mengenal
berbagai jenis wacana sebagaimana yang diungkap oleh Keraf (2000). Wacana dalam
pandangan ini meliputi (a) wacana naratif,
yaitu sebuah jenis karangan yang bertujuan untuk menceritakan suatu pokok
persoalan dengan ciri kronologis atau memiliki plot serta adanya tokoh; (b) wacana deskriptif, yaitu jenis karangan
yang bertujuan menyodorkan gambaran mengenai suatu pokok persoalan sesuai apa
adanya. Wacana yang berciri informatif ini kerap memuat unsur subjektivitas dan
membuat pembaca menikmati yang dinikmati penulis. Hal terpenting dari wacana
ini bukan pada susunan peristiwanya, melainkan pada sampainya suatu gambaran
tertentu kepada pembaca; (c) wacana ekspositif,
yaitu jenis karangan yang bertujuan menerangkan suatu pokok masalah untuk memperluas
pengetahuan seseorang. Wacana ini berciri objektif, sering dilengkapi dengan
gambar, grafik, statistik, dan penutup karangannya adalah penegasan; (d) wacana argumentatif, yaitu jenis
karangan yang bertujuan mempengaruhi dan meyakinkan pembaca untuk menyatakan persetujuannya. Ciri
wacana ini ialah berisi gagasan dengan bukti kesaksian yang kritis dan logis
serta penutup karangannya berupa kesimpulan; (e) wacana persuatif, yaitu karangan yang bertujuan mempengaruhi
pembaca dengan kuat sehingga terhanyut oleh siratan isinya. Karangan ini
berciri ringkas dan menarik.
Mengingat tulisan ini digunakan
sebagai acuan penulisan karya ilmiah, tulisan ini akan membatasi pada jenis
wacana yang berupa wacana argumentatif. Wacana jenis ini merupakan wacana yang
terpenting di antara jenis yang lainnya. Wijana (2008: 76) mengatakan bahwa pemahaman
yang baik akan wacana argumentatif akan memberi bekal cendekiawan untuk
mengemukakan fakta-fakta dan menolak maupun menerimanya dengan
argumentasi-argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia juga membagi wacana argumentatif dalam
tiga bagian, yaitu (a) bagian awal sebuah
wacana argumentatif dapat berupa pemaparan
situasi, (b) bagian isi-nya merupakan
problematika, dan (c) bagian penutup
merupakan solusi.
Selain itu, Wijana (2008: 76—78)
juga menegaskan bahwa sebagai sebuah struktur atau kerangka pemikiran, sebuah
karangan yang baik juga menuntut berbagai persyaratan yang lain, misalnya (a)
penulis harus memaparkan secara ringkas atau tidak berlebih-lebihan, (b)
berdasarkan fakta-fakta yang memadai, (c) selalu relevan dengan topik
pembicaraan, dan (d) disampaikan dengan cara-cara yang wajar, artinya runtut,
tidak berbelit-belit, jelas, dan tidak ambigu. Dengan demikian, karangan yang
baik haruslah teliti, ringkas, dan jelas.
Selanjutnya, contoh wacana
argumentatif berikut ini perlu diperhatikan.
Akal dan Wahyu dalam Ilmu Ekonomi Islam
Agama wahyu mengajarkan dua jalan untuk
mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui komunikasi dari Tuhan kepada manusia.
Kedua, dengan jalan akal, yaitu memakai kesan-kesan yang diperoleh pancaindra
sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan
yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang absolut,
sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui akal diyakini sebagai pengetahuan
yang bersifat relatif, yang memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar
dan mungkin salah. Berbeda dengan agama wahyu, agama bumi berangkat dari
pengetahuan yang diperoleh melalui perenungan untuk mendapatkan kebenaran dan
pencerahan.
Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, timbul pertanyaan mengenai pengetahuan mana yang lebih dipercaya,
yakni pengetahuan yang diperoleh melalui akal, pengetahuan melalui wahyu, atau
pengetahuan yang diperoleh melalui kedua-duanya. Persoalan akal dan wahyu ini
juga cukup mendasar untuk memahami ilmu ekonomi Islam. Selama ini dalam ekonomi
Islam digunakan maqashid as-sy’ariyah atau
maslahah yang menekankan terjaminnya
kebutuhan hidup manusia. Dua di antara kebutuhan itu ialah mewujudkan
terjaganya al-aql (intellect) dan
keyakinan (ad-din). Dalam hal ini
wahyu merupakan sumber pengetahuan yang didasarkan keimanan kepada Allah swt.
Mengingat akal dalam Islam adalah daya
berpikir yang ada dalam diri manusia, maka akal dapat dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya dalam menjalani perannya sebagai manusia dan khalifah. Akal
dapat digunakan untuk memahami realitas alam secara transenden dan mengatasi
problem yang dihadapi manusia. Di samping itu, akal juga dapat lebih
mempertajam pemahaman terhadap pesan-pesan wahyu. Sebagai ilmu, ilmu ekonomi
Islam memberdayakan dan mendasarkan pada kerja akal. Namun, dalam
analisis-analisisnya menyertakan nilai-nilai yang bersumber dari al-Qur’an dan
Sunnah.
Wacana di atas ditulis dalam tiga
bagian, yaitu (a) bagian awal yang mengandung situasi, (b) bagian tengah yang
mengandung problem, dan (c) bagian akhir yang mengandung solusi. Pokok pikiran
yang dapat ditangkap dari tulisan di atas adalah sebagai berikut.
a. Situasi : - Agama wahyu yang mengajarkan jalan medapatkan
pengetahuan.
- Pengetahuan melalui wahyu diyakini sebagai
pengetahuan absolut.
- Pengetahuan akal merupakan pengetahuan
relatif.
- Agama bumi berangkat dari perenungan untuk
mendapatkan
kebenaran dan pencerahan.
b. Problem : - Ilmu pengetahuan dan teknologi telah maju.
- Pengetahuan melalui akal dan pengetahuan
melalui wahyu,
manakah yang dapat
dipercaya.
- Selama ini dalam ekonomi Islam digunakan maqashid as-sy’ariyah
atau maslahah
yang menekankan terjaminnya kebutuhan hidup
manusia.
c. Solusi : - Akal dapat digunakan untuk
memahami realitas alam secara
transenden dan mengatasi
problem
- Akal dapat mempertajam pemahaman terhadap
pesan-pesan wahyu.
- Ilmu ekonomi Islam memberdayakan
dan mendasarkan pada kerja
akal.
- Namun, dalam
analisis-analisisnya menyertakan nilai-nilai yang
bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.
Dengan
demikian, pada dasarnya pemikiran-pemikiran itu telah didistribusikan dalam
kalimat-kalimat efektif yang terpetakan dari awal dan akhir. Selain itu, komposisi
dalam wacana di atas dapat dipahami dengan baik karena memenuhi prinsip dalam
struktur internal kebahasaan dan struktur penataan gagasan. Bagi pemula,
distribusi dan komposisi yang baik seperti di atas dapat dilakukan dengan
membuat kerangka pikiran sebelum menulis. Jika telah biasa menulis, alur
pemikiran dengan sendirinya akan dituliskan secara sistematis dengan kemasan
yang lebih fleksibel, natural, dan menarik.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar