Rabu, 16 Mei 2012

Menyusun Paragraf dan Wacana



Menyusunan Paragraf dan Wacana

            Modal dasar dalam menyusun sebuah karangan, baik karya tulis ilmiah maupun karya populer, adalah penguasaan teknik penyusunan paragraf dan wacana. Pada tataran paragraf dan wacana ini ide kompleks dari seorang penulis dapat terbaca sebagai sebuah kesatuan. Jika distribusi ide itu telah dilakukan dengan baik, ide utama telah diletakkan pada tempat yang tepat, dan kalimat demi kalimat telah disusun secara sistematis oleh penulis, pembaca pun mudah memahami pokok-pokok pikirannya. Selain itu, melalui penyusunan paragraf dan wacana yang baik pembaca juga mudah menyimpulkan pemikiran yang ingin dikomunikasikan penulis melalui tulisannya.

A. Prinsip Utama dalam Menyusun Paragraf
   Ketika seseorang memiliki kesatuan ide dan ingin menulis sebuah karangan, tentu ia akan memulai dari karangan yang paling singkat, yaitu paragraf. Paragraf ini merupakan kesatuan pikiran yang lebih tinggi dan lebih luas daripada kalimat. Dalam paragraf itu terkandung sebuah pikiran yang didukung oleh semua kalimat dalam paragraf tersebut. Akhadiah (1991: 144) berpendapat, dalam sebuah paragraf himpunan kalimat-kalimat dalam paragraf itu saling bertalian membentuk sebuah gagasan. Sementara itu, Keraf (1993: 51) menyebut paragraf sebagai alinea dengan pengertian yang hampir sama.
   Dalam sebuah karangan paragraf terdiri atas (a) paragraf pembuka, (b) paragraf penghubung, dan (c) paragraf penutup. Paragraf pembuka memiliki fungsi membuka suatu karangan, menarik minat dan perhatian pembaca, serta menyiapkan pikiran pembaca. Paragraf penghubung adalah semua paragraf yang terdapat di antara paragraf pembuka dengan paragraf penutup. Sementara itu, paragraf penutup memiliki fungsi mengakhiri karangan/bagian karangan, mengandung kesimpulan yang bulat serta betul-betul  mengakhiri uraian, dan menimbulkan banyak kesan.
Ada empat prinsip dalam menyusun paragraf, yaitu (a) kesatuan, (b) kepaduan, (c) kelengkapan, (Akhadiah, dkk. 1991: 148), serta (d) kebakuan. Prinsip penyusunan paragraf itu akan diuraikan sebagai berikut.

1. Kesatuan
            Setiap paragraf hanya mengandung satu gagasan pokok atau topik. Sebuah paragraf  dianggap mempunyai kesatuan jika kalimat-kalimat dalam paragraf itu tidak terlepas dari topiknya atau relevan dengan topiknya. Dalam karya tulis ilmiah, sebuah ide pokok tidak cukup hanya dijelaskan dengan satu kalimat yang lain mengingat spirit utama dalam karya ilmiah ialah menguraikan sesuatu dengan sangat jelas. 
            Sering terjadi seorang penulis menambahkan pemikiran baru di akhir paragraf karena ia menemukan ide baru pada saat menyusun sebuah paragraf.  Hal semacam ini akan mengacaukan pemetaan pikiran pembaca karena pada dasarnya sebuah paragraf dibuat menjorok pada bagian awalnya sebagai penanda bahwa ada satu ide yang baru. Dengan demikian, penyusunan paragraf yang ideal terdiri atas satu kalimat yang mengandung ide utama dan beberapa kalimat lain yang menjelaskan atau menguraikan ide utama tersebut.

2. Kelengkapan
            Sebuah paragraf disebut lengkap jika memiliki kalimat-kalimat penjelas yang menjelaskan kalimat topik atau kalimat utama. Ada empat cara untuk meletakkan kalimat utama, yaitu sebagai berikut.
a. Pada awal paragraf. Paragraf ini diawali dengan menuliskan topik utama atau kalimat utama dan diikuti oleh kalimat-kalimat penjelas yang menjelaskan kalimat utama. Paragraf ini biasanya bersifat deduktif, yaitu dari yang umum kepada yang khusus.
b. Pada akhir paragraf. Paragraf ini diawali dengan kalimat-kalimat penjelas dan diakhiri dengan kalimat utama. Paragraf ini biasanya bersifat induktif dari yang khusus kepada yang umum.
c. Pada awal dan akhir paragraf. Paragraf ini diawali dengan menuliskan topik utama atau kalimat utama dan diikuti oleh kalimat-kalimat penjelas yang menjelaskan kalimat utama. Selanjutnya, paragraf ini ditutup dengan memberikan penegasan kembali sebagaimana yang tertuang dalam kalimat utama. Dengan demikian, paragraf ini masih memenuhi prinsip kesatuan karena masih dalam satu topik utama. Paragraf ini sering disebut dengan paragraf deduktif-induktif.
d. Tersebar di seluruh kalimat. Paragraf ini pikiran utamanya terdapat pada seluruh kalimat yang membangun paragraf itu, misalnya dalam karangan yang berbentuk narasi (cerita) maupun deskripsi (pelukisan). Paragraf yang demikian tidak menjadi fokus dalam tulisan ini.

3. Kepaduan
            Sebuah paragraf dibangun oleh kalimat-kalimat yang mempunyai timbal balik. Kepaduan ini dibangun dengan memperhatikan unsur-unsur kebahasaan yang digambarkan dengan (a) repitisi atau pengulangan kata kunci, (b) pemakaian kata ganti, (c) penggunaan kata-kata transisi maupun penghubung. Selain itu, kepaduan juga dibangun dengan memperhatikan pemerincian dan urutan isi paragraf (Nasucha dkk., 2009: 39).
           
4. Kebakuan
            Kebakuan yang dimaksud dalam paragraf ini ialah ketaatan dan konsistensi penulis dalam menggunakan aturan-aturan penulisan yang terdapat dalam satuan bahasa sebelumnya. Kebakuan ini akan menjamin ide pokok yang dimaksud oleh penulis serupa dengan pemahaman yang diterima oleh pembaca.
            Di bawah ini contoh paragraf yang memenuhi prinsip menyusun paragraf.

        Seorang filosof Muslim dari Mesir, Hasan Hanafi, menyatakan dengan tegas bahwa filsafat Islam kontemporer harus berdialog langsung dengan filsafat Barat (1). Menurutnya, filsafat Islam harus bergumul, berhadapan, dan merespons persoalan yang diangkat ke permukaan oleh filsafat Barat (2). Dasar pertimbangan Hasan Hanafi ini sederhana saja (3). Falasah Islam Klasik, baik dalam era al-Farabi maupun era Ibn Rusdh, juga bergumul langsung, bahkan sangat intensif, dengan falsafah Yunani (4).

            Paragraf di atas memenuhi prinsip kesatuan, yaitu ada satu ide pokok tentang pemikiran. Selain itu, paragraf itu juga memenuhi prinsip kelengkapan dengan adanya kalimat utama dan beberapa kalimat penjelas. Dalam hal ini kalimat utamanya berada pada kalimat (1), sedangkan kalimat penjelas yang mendukung ide pokok tersebut terdapat pada kalimat (2). (3), dan (4). Untuk memenuhi prinsip kepaduan, semua kalimat penjelas dalam paragraf itu memiliki penanda yang menghubungkan kalimat penjelas (2), (3), dan (4) dengan ide pokok yang terdapat dalam kalimat (1). Penanda itu terdapat dalam menurutnya pada kalimat (2), ini pada kalimat (3), dan juga pada kalimat (4). Kalimat-kalimat di atas juga tersusun atas kata-kata baku, terangkai dalam kalimat yang efektif sehingga informatif bagi pembaca. Dengan demikian, kalimat tersebut juga memenuhi prinsip kebakuan.
            Jika dilihat penalarannya, paragraf di atas tergolong paragraf deduktif. Sebaliknya jika ide pokok tersebut berada di akhir paragraf tersebut dapat disebut sebagai paragraf induktif. Sementara itu, jika paragraf di atas diberi tambahan penegasan pada akhir paragraf dengan inti atau pokok pikiran yang sama dengan kalimat (1), paragraf tersebut dapat disebut sebagai paragraf deduktif-induktif.
            Paragraf-paragraf di atas dapat dikembangkan dengan teknik tertentu yang biasa disebut dengan pola pengembangan paragraf. Di antara teknik itu ialah dengan  klimaks-antiklimaks, perbandingan dan pertentangan, analogi, sebab-akibat, definisi luas,  klasifikasi, contoh, dan sebagainya. Teknik-teknik tersebut penggunaannya tergantung sifat ide pokok yang ingin diuraikan. Dengan demikian, sebuah karangan utuh dapat terdiri atas paragraf-paragraf yang variatif pola pengembangannya.

2. Menyusun Wacana Argumentatif
            Sebagai sebuah karangan utuh, wacana merupakan satuan kebahasan yang tertinggi dalam hierarki gramatika. Penulisan wacana merupakan aspek penting yang harus dikuasai oleh cendekiawan agar idenya yang tertuang dalam tulisan menjadi mudah dipahami secara luas. Sebagai sebuah kompisisi yang menarik, penataan ide dalam pikiran seorang cendekiawan harus berimbang dengan penguasaannya terhadap struktur internal kebahasaan yang telah dijelaskan dalam bab sebelum ini.
            Wacana dapat dibedakan menjadi (a) wacana naratif, (b) wacana hortatori, (c) wacana prosedural, (d) wacana ekspositori atau wacana argumentatif. Wacana naratif adalah wacana yang digunakan untuk mengungkapkan cerita, seperti dongeng, fiksi, dsb.. Wacana hortatori adalah wacana yang digunakan untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain, seperti iklan, slogan, pidato kampanye,  dsb.  Wacana prosedural adalah wacana yang digunakan untuk mengungkap tahapan-tahapan atau prosedur-prosedur pembuatan sesuatu, misalnya resep masakan, proses pendirian gedung, pembuatan baju, dsb. Wacana ekspositori atau wacana argumentatif adalah wacana yang digunakan untuk mengungkapkan pendapat, keyakinan, dsb., seperti laporan penelitian, karya tulis, dsb. (Wijana, 2008: 76)
            Namun, pada umumnya, seseorang yang telah mengenyam pendidikan menengah telah mengenal berbagai jenis wacana sebagaimana yang diungkap oleh Keraf (2000). Wacana dalam pandangan ini meliputi (a) wacana naratif, yaitu sebuah jenis karangan yang bertujuan untuk menceritakan suatu pokok persoalan dengan ciri kronologis atau memiliki plot serta adanya tokoh; (b) wacana deskriptif, yaitu jenis karangan yang bertujuan menyodorkan gambaran mengenai suatu pokok persoalan sesuai apa adanya. Wacana yang berciri informatif ini kerap memuat unsur subjektivitas dan membuat pembaca menikmati yang dinikmati penulis. Hal terpenting dari wacana ini bukan pada susunan peristiwanya, melainkan pada sampainya suatu gambaran tertentu kepada pembaca; (c) wacana ekspositif, yaitu jenis karangan yang bertujuan menerangkan  suatu pokok masalah untuk memperluas pengetahuan seseorang. Wacana ini berciri objektif, sering dilengkapi dengan gambar, grafik, statistik, dan penutup karangannya adalah penegasan; (d) wacana argumentatif, yaitu jenis karangan yang bertujuan mempengaruhi dan meyakinkan  pembaca untuk menyatakan persetujuannya. Ciri wacana ini ialah berisi gagasan dengan bukti kesaksian yang kritis dan logis serta penutup karangannya berupa kesimpulan; (e) wacana persuatif, yaitu karangan yang bertujuan mempengaruhi pembaca dengan kuat sehingga terhanyut oleh siratan isinya. Karangan ini berciri ringkas dan menarik.
            Mengingat tulisan ini digunakan sebagai acuan penulisan karya ilmiah, tulisan ini akan membatasi pada jenis wacana yang berupa wacana argumentatif. Wacana jenis ini merupakan wacana yang terpenting di antara jenis yang lainnya. Wijana (2008: 76) mengatakan bahwa pemahaman yang baik akan wacana argumentatif akan memberi bekal cendekiawan untuk mengemukakan fakta-fakta dan menolak maupun menerimanya dengan argumentasi-argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.  Ia juga membagi wacana argumentatif dalam tiga bagian, yaitu (a) bagian awal sebuah wacana argumentatif dapat berupa  pemaparan situasi, (b) bagian isi-nya merupakan problematika, dan (c) bagian penutup merupakan solusi.
            Selain itu, Wijana (2008: 76—78) juga menegaskan bahwa sebagai sebuah struktur atau kerangka pemikiran, sebuah karangan yang baik juga menuntut berbagai persyaratan yang lain, misalnya (a) penulis harus memaparkan secara ringkas atau tidak berlebih-lebihan, (b) berdasarkan fakta-fakta yang memadai, (c) selalu relevan dengan topik pembicaraan, dan (d) disampaikan dengan cara-cara yang wajar, artinya runtut, tidak berbelit-belit, jelas, dan tidak ambigu. Dengan demikian, karangan yang baik haruslah teliti, ringkas, dan jelas.
            Selanjutnya, contoh wacana argumentatif berikut ini perlu diperhatikan.



Akal dan Wahyu dalam Ilmu Ekonomi Islam

        Agama wahyu mengajarkan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui komunikasi dari Tuhan kepada manusia. Kedua, dengan jalan akal, yaitu memakai kesan-kesan yang diperoleh pancaindra sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang absolut, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah. Berbeda dengan agama wahyu, agama bumi berangkat dari pengetahuan yang diperoleh melalui perenungan untuk mendapatkan kebenaran dan pencerahan.
        Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul pertanyaan mengenai pengetahuan mana yang lebih dipercaya, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui akal, pengetahuan melalui wahyu, atau pengetahuan yang diperoleh melalui kedua-duanya. Persoalan akal dan wahyu ini juga cukup mendasar untuk memahami ilmu ekonomi Islam. Selama ini dalam ekonomi Islam digunakan maqashid as-sy’ariyah atau maslahah yang menekankan terjaminnya kebutuhan hidup manusia. Dua di antara kebutuhan itu ialah mewujudkan terjaganya al-aql (intellect) dan keyakinan (ad-din). Dalam hal ini wahyu merupakan sumber pengetahuan yang didasarkan keimanan kepada Allah swt.
        Mengingat akal dalam Islam adalah daya berpikir yang ada dalam diri manusia, maka akal dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam menjalani perannya sebagai manusia dan khalifah. Akal dapat digunakan untuk memahami realitas alam secara transenden dan mengatasi problem yang dihadapi manusia. Di samping itu, akal juga dapat lebih mempertajam pemahaman terhadap pesan-pesan wahyu. Sebagai ilmu, ilmu ekonomi Islam memberdayakan dan mendasarkan pada kerja akal. Namun, dalam analisis-analisisnya menyertakan nilai-nilai yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.

            Wacana di atas ditulis dalam tiga bagian, yaitu (a) bagian awal yang mengandung situasi, (b) bagian tengah yang mengandung problem, dan (c) bagian akhir yang mengandung solusi. Pokok pikiran yang dapat ditangkap dari tulisan di atas adalah sebagai berikut.


a. Situasi         : - Agama wahyu yang mengajarkan jalan medapatkan pengetahuan.
                          - Pengetahuan melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan absolut.
                          - Pengetahuan akal merupakan pengetahuan relatif.
                           - Agama bumi berangkat dari perenungan untuk mendapatkan
                              kebenaran dan pencerahan.
b. Problem     : - Ilmu pengetahuan dan teknologi telah maju.
                          - Pengetahuan melalui akal dan pengetahuan melalui wahyu,
                             manakah yang dapat dipercaya.
                          - Selama ini dalam ekonomi Islam digunakan maqashid as-sy’ariyah
                            atau maslahah yang menekankan terjaminnya kebutuhan hidup
                             manusia.
c. Solusi          : - Akal dapat digunakan untuk memahami realitas alam secara
                             transenden dan mengatasi problem
          - Akal dapat mempertajam pemahaman terhadap pesan-pesan wahyu.
          - Ilmu ekonomi Islam memberdayakan dan mendasarkan pada kerja
            akal.
-       Namun, dalam analisis-analisisnya menyertakan nilai-nilai yang
    bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.

            Dengan demikian, pada dasarnya pemikiran-pemikiran itu telah didistribusikan dalam kalimat-kalimat efektif yang terpetakan dari awal dan akhir. Selain itu, komposisi dalam wacana di atas dapat dipahami dengan baik karena memenuhi prinsip dalam struktur internal kebahasaan dan struktur penataan gagasan. Bagi pemula, distribusi dan komposisi yang baik seperti di atas dapat dilakukan dengan membuat kerangka pikiran sebelum menulis. Jika telah biasa menulis, alur pemikiran dengan sendirinya akan dituliskan secara sistematis dengan kemasan yang lebih fleksibel, natural, dan menarik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar